Pemerintahan Prabowo memperluas stimulus fiskal dengan meluncurkan bantuan tunai tambahan senilai Rp30 triliun (sekitar USD 1,8 miliar) yang akan disalurkan selama Oktober hingga Desember 2025.
Program ini ditujukan bagi 35 juta keluarga penerima manfaat, mencakup sekitar 140 juta penduduk, sebagai upaya menjaga konsumsi di tengah tekanan ekonomi dan perlambatan belanja pemerintah.
Rangkaian Stimulus yang Berlanjut
Tambahan stimulus ini melengkapi paket fiskal Rp61 triliun yang telah digulirkan pada paruh pertama 2025, termasuk diskon listrik, bantuan beras, dan asuransi untuk pekerja gig economy.
Selain itu, pemerintah juga menyiapkan pendanaan magang bagi 100.000 fresh graduates untuk meredam tekanan di pasar tenaga kerja yang sedang melemah.
Tujuan utamanya sederhana: menjaga daya beli masyarakat agar tidak semakin menurun di tengah tekanan global dan stagnasi penyerapan APBN.
Tantangan Eksekusi dan Efektivitas
Peluncuran stimulus ini terjadi di tengah dinamika politik dan birokrasi yang kompleks.
Pasca pergantian Menteri Keuangan bulan lalu, realisasi belanja pemerintah baru mencapai sekitar 60% dari target APBN per September 2025, dengan beberapa kementerian besar seperti PUPR, Pertanian, dan Badan Pangan Nasional yang baru menyerap kurang dari 50% dari anggaran mereka.
Keterlambatan ini memperlihatkan bahwa kendala eksekusi masih menjadi titik lemah kebijakan fiskal Indonesia, meski ruang anggarannya tergolong longgar.
Stimulus tambahan Rp30 triliun akan membantu menahan pelemahan konsumsi, namun dampak nyatanya terhadap pertumbuhan sangat bergantung pada kecepatan dan ketepatan penyaluran.
Konteks Regional dan Global
Langkah Indonesia sejalan dengan sejumlah negara Asia Tenggara lain yang mulai kembali menggunakan kebijakan fiskal ekspansif untuk menopang ekonomi domestik.
Thailand, misalnya, baru saja menyiapkan paket USD 1,4 miliar untuk subsidi pangan dan bantuan rumah tangga, di tengah tekanan biaya hidup dan perlambatan ekspor.
Secara global, tensi perdagangan antara AS dan Tiongkok masih menekan sektor manufaktur dan ekspor di kawasan.
Indonesia, dengan ketergantungan yang cukup besar terhadap komoditas dan permintaan luar negeri, berupaya menyeimbangkan kembali sumber pertumbuhan lewat konsumsi dan investasi domestik.
Prospek Pertumbuhan dan Arah Kebijakan
Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi di kisaran 6–8% selama masa jabatan Presiden Prabowo hingga 2029.
Namun, proyeksi lembaga internasional masih lebih konservatif dimana IMF memperkirakan pertumbuhan 4,9% pada 2025–2026, sejalan dengan rata-rata historis dekade terakhir.
Untuk mendorong momentum jangka pendek, pemerintah juga telah menyalurkan injeksi likuiditas sebesar USD 12 miliar ke bank-bank BUMN, dengan harapan dapat mempercepat penyaluran kredit dan menjaga pertumbuhan PDB sekitar 5,5% di kuartal IV.
Langkah ini menegaskan arah kebijakan fiskal yang pro-pertumbuhan, namun juga mengingatkan bahwa tantangan struktural seperti penciptaan lapangan kerja formal, peningkatan produktivitas, dan percepatan eksekusi anggaran, tetap menjadi kunci untuk mewujudkan pertumbuhan di atas 5% secara berkelanjutan.