Fed’s First 25bps Cut: Awal dari Babak Baru di Pasar Keuangan

media-image

Pasar global kembali bergejolak minggu ini setelah keputusan penting dari Federal Reserve (The Fed). Pada rapat FOMC tanggal 17 September 2025, The Fed memangkas suku bunga acuan (Fed Funds Rate/FFR) sebesar 25 basis poin ke level 4,00% – 4,25%.

Ini merupakan pemangkasan pertama sepanjang 2025, sekaligus menandai berakhirnya periode panjang suku bunga tinggi yang sudah berlangsung sejak akhir 2022. Langkah ini sesuai ekspektasi pasar, namun dampaknya bisa jauh lebih luas bagi likuiditas global, pasar saham, hingga reksa dana.

Mengapa The Fed Memotong Suku Bunga?
Ada dua alasan utama di balik keputusan ini:
1. Pertumbuhan ekonomi AS melambat di Semester I/2025.
2. Pertumbuhan lapangan kerja melemah, walau belum jatuh signifikan.

Meski demikian, Gubernur The Fed Jerome Powell menekankan bahwa langkah ini bersifat preventif. Artinya, bukan karena ekonomi sudah resesi, melainkan upaya berjaga-jaga agar perlambatan tidak semakin dalam.
Catatan: Posisi FFR saat ini setara dengan level Desember 2022, yang menunjukkan betapa lamanya suku bunga ditahan tinggi.

Apa Selanjutnya? 
Melalui dot plot September 2025, The Fed memberi sinyal bahwa pemangkasan ini bukan yang terakhir. Proyeksi terbaru menunjukkan:
- PDB AS: naik tipis ke 1,6% (dari 1,4%).
- Tingkat Pengangguran: tetap di 4,5%.
- Inflasi umum & inti: tetap di kisaran 3,0%–3,1%.
- Target FFR akhir 2025: turun ke 3,6% (vs 3,9% di proyeksi Juni).

Dengan kata lain, pasar menilai The Fed masih akan menurunkan suku bunga tambahan sekitar 50bps hingga akhir tahun.

Dampaknya ke Indonesia
Keputusan dovish The Fed membawa implikasi besar ke emerging markets, termasuk Indonesia:

1. Kebijakan BI Lebih Longgar
Bank Indonesia (BI) juga kembali memotong suku bunga untuk kelima kalinya tahun ini, sebesar 25bps ke 4,75%.

Selisih BI Rate dengan FFR kini hanya 50–75bps, sehingga BI punya ruang terbatas, tapi tetap berupaya mendukung pertumbuhan.

2. Potensi Penguatan Mata Uang EM
Dolar AS (DXY) melemah ke level 97 (-11,8% YTD).

Hal ini membuka peluang bagi penguatan mata uang emerging markets, termasuk Rupiah, meski sampai saat ini transmisinya belum juga terlihat.

3. Likuiditas Pasar Obligasi Lebih Baik
Penurunan yield global membuat investor asing berpotensi kembali masuk ke obligasi Indonesia.

Hal ini positif untuk reksa dana pendapatan tetap, khususnya yang berfokus pada obligasi pemerintah maupun korporasi jangka menengah.

Apa Artinya Bagi Investor Reksa Dana?
Bagi investor Indonesia, keputusan The Fed dan BI ini bisa menjadi sinyal penting:
- Reksa Dana Pasar Uang & Pendapatan Tetap ; berpotensi diuntungkan dari tren penurunan suku bunga karena yield obligasi lebih menarik, likuiditas lebih longgar, dan risiko Rupiah lebih terkendali.

- Reksa Dana Saham ; meskipun investor asing masih hati-hati, potensi penguatan Rupiah dan stabilitas inflasi bisa menjadi katalis positif bagi IHSG di kuartal akhir 2025.

- Diversifikasi tetap kunci ; perbedaan dinamika global dan domestik mengingatkan kita bahwa strategi portofolio harus seimbang, baik antara instrumen defensif (obligasi) maupun growth (saham).

Artinya, kesehatan finansial dan kesehatan mental berjalan beriringan, saling mendukung dalam membentuk kualitas hidup yang utuh.

Closing Thought 
Pemangkasan pertama The Fed di 2025 ini bukanlah akhir, melainkan awal dari babak baru. Investor reksa dana sebaiknya memandang fase ini sebagai peluang untuk menata ulang portofolio: memanfaatkan momentum turunnya suku bunga, namun tetap waspada terhadap volatilitas global.

Seperti biasa, kuncinya adalah disiplin dalam diversifikasi. karena dalam dunia investasi, bukan hanya seberapa besar keuntungan yang kita cari, tetapi juga seberapa baik kita bisa menjaga aset di tengah ketidakpastian.