Pasar modal Indonesia belakangan ini penuh dinamika. Saham konglomerasi melesat hingga menguasai sepertiga market cap, sementara narasi “value investing sudah ketinggalan zaman” semakin kuat terdengar. Dalam kondisi seperti ini, bagaimana investor bisa tetap relevan dan menemukan edge-nya? Pertanyaan besar inilah yang dibahas oleh Jos Parengkuan (Founder & President Commissioner Syailendra Capital) dan Bernad Mahardika Sandjojo aka Bernad88 (Capital Market Enthusiast & Educator), bersama host Syanne Gracetine, dalam episode terbaru SPOD.
Value vs Growth: Dua Jalan, Satu Pasar
Pak Jos menegaskan bahwa terlalu naif jika menyebut value investing sudah usang. Namun, sama naifnya jika mengabaikan saham konglomerasi yang sedang hype. Value investing dan growth investing adalah dua gaya berbeda yang satu fokus pada PER rendah, PBV rendah, dan cash flow stabil, sementara yang lain mengandalkan ekspektasi pertumbuhan eksponensial dalam 3–5 tahun ke depan. Kuncinya bukan memilih salah satu, tapi memahami kapan dan bagaimana keduanya bekerja.
EQ, Bukan Hanya IQ
Salah satu highlight menarik adalah pentingnya EQ (Emotional Quotient) dalam berinvestasi. Menurut Pak Jos, 60–70% kesuksesan investasi ditentukan oleh kemampuan mengendalikan emosi. Apakah kita berani membeli ketika orang lain panik menjual? Atau berani take profit ketika pasar sedang euforia? Rasionalitas tidak hanya datang dari angka, tapi juga dari disiplin mental.
Dari Goalkeeper ke Striker
Bernad menambahkan perspektif makro: Indonesia selama bertahun-tahun dijaga dengan disiplin fiskal ketat ala goalkeeper Sri Mulyani. Namun, jika kita ingin keluar dari “jebakan 5% growth”, dibutuhkan sosok striker seperti Purbaya yang berani mengajukan ide baru. Analogi sepak bola ini menggambarkan perlunya keseimbangan antara menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan.
Retail, Hustling, dan Tantangan Real Business
Diskusi juga menyinggung rendahnya partisipasi retail dibandingkan total household di Indonesia. Meski akses ke pasar modal semakin terbuka, partisipasi masih segmented. Banyak orang justru masuk ke pasar modal untuk “hustling”, mencari income tambahan karena bisnis riil melambat. Menurut Bernad, ini menjadi lampu kuning bagi kondisi makro kita—pertumbuhan pasar modal seharusnya berjalan beriringan dengan kesehatan ekonomi riil.
Adaptasi sebagai Edge
Baik Pak Jos maupun Bernad sepakat: tidak ada satu strategi investasi yang selalu berhasil. Investor perlu adaptif terhadap perubahan pasar. Baik value maupun growth, disiplin maupun agresif, semuanya bisa relevan pada masanya. Yang membedakan hanyalah seberapa cepat kita membaca tanda-tanda perubahan arah.
Episode lengkapnya bisa kamu dengarkan di YouTube Syailendra Capital!