When the Budget Slows Down

Belanja pemerintah pusat sampai akhir September 2025 tercatat Rp1.589,9 triliun, atau baru 59,7% dari outlook APBN sebesar Rp2.663,4 triliun.
Angka ini menandai realisasi yang lebih rendah dibanding tahun lalu (Rp1.616,1 triliun atau 65,49% di periode yang sama), meski pagu anggarannya sebenarnya lebih besar.

Dengan kata lain, pemerintah masih memiliki “amunisi fiskal” yang besar tapi belum sepenuhnya tersalurkan.

Eksekusi yang Belum Optimal
Rinciannya menunjukkan perlambatan hampir di seluruh komponen:
- Belanja Kementerian/Lembaga (K/L): Rp800,9 triliun (62,8%) turun dari 73,7% setahun sebelumnya
- Belanja Non-K/L: Rp789 triliun (56,8%) turun dari 59% tahun lalu

Satu-satunya sisi yang relatif stabil adalah Transfer ke Daerah (TKD) dengan penyerapan 74,6%, sedikit lebih tinggi dibanding tahun lalu (74,1%). Artinya, daerah justru menunjukkan kinerja fiskal yang lebih cepat dibanding pemerintah pusat.

Menurut Purbaya Yudhi Sadewa, efektivitas belanja kini lebih difokuskan pada program prioritas, bantuan sosial, dan belanja infrastruktur. Namun, tantangan tetap ada: proses administrasi dan tender masih menjadi faktor penghambat, terutama di kementerian teknis.

Dampak ke Pertumbuhan dan Neraca Fiskal
Perlambatan realisasi belanja berpotensi menahan momentum pertumbuhan ekonomi di kuartal III–IV, terutama dari sisi konsumsi pemerintah dan proyek infrastruktur.

Namun dari sisi fiskal, posisi APBN masih relatif sehat:
Defisit anggaran: Rp371,5 triliun atau 1,56% dari PDB
Surplus primer: Rp18 triliun

Kondisi ini menandakan pemerintah tetap berada dalam jalur konsolidasi fiskal, dengan ruang tambahan untuk stimulus di akhir tahun jika diperlukan.

Rupiah: Stabil Tapi Belum Aman
Di pasar valuta asing, Rupiah diperdagangkan di kisaran Rp16.550–16.600/USD, mencoba menyeimbangkan tekanan global dengan dukungan kebijakan domestik.
Bank Indonesia terus melakukan intervensi untuk menjaga stabilitas, sementara pemerintah mengisyaratkan kemungkinan penambahan likuiditas ke bank-bank BUMN guna mendukung pasar keuangan.

Faktor positif seperti surplus neraca perdagangan, posisi fiskal yang solid, dan potensi inflow di kuartal IV menjadi penopang nilai tukar.
Namun di sisi lain, penguatan dolar AS dan perbedaan imbal hasil (yield differentials) masih menekan mata uang emerging markets, termasuk Indonesia.

Our Take
Eksekusi belanja yang lambat membuat daya dorong fiskal belum maksimal, padahal ruang anggarannya masih besar.
Biasanya, percepatan terjadi di kuartal IV seiring realisasi proyek dan pencairan bansos menjelang akhir tahun.
Namun, keterlambatan di awal bisa membatasi kontribusi fiskal terhadap pertumbuhan PDB secara keseluruhan.

Untuk Rupiah, arah jangka pendek masih bergantung pada kekuatan dolar global dan kredibilitas intervensi BI.
Selama kebijakan fiskal tetap disiplin dan realisasi belanja mulai meningkat, stabilitas makro Indonesia masih terjaga, meski volatilitas jangka pendek belum akan hilang.

Belanja yang lambat bukan berarti lemah, tapi menunjukkan tantangan eksekusi di tengah upaya menjaga disiplin fiskal.
Dengan fundamental makro yang tetap solid dan ruang stimulus masih tersedia, kombinasi kebijakan fiskal dan moneter akan menjadi kunci menjaga momentum ekonomi dan stabilitas Rupiah menuju akhir tahun.